Rabu, 09 Januari 2013

Alokasi Gas Bumi Dalam Negeri

 Aturan Alokasi Gas Bumi dalam Negeri

Jakarta - Semua warga Negara Indonesia tentu paham benar arti pasal 33 UUD 45; bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kita semua tentu juga memahami bahwa gas Bumi merupakan kekayaan alam dan kebutuhan gas domestik sangat besar. Gas Bumi domestik seharusnya secara optimal dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ketenagalistrikan, industri dan rumah tangga dalam negeri demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu dibuatlah Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan maksud melindungi migas Indonesia. Sesuai dengan Pasal 8, Pemerintah memberikan prioritas pemanfaatan gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Kemudian di Pasal 44 Ayat (2) : "Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Persoalannya, saat ini pengaturan tersebut kurang jelas walaupun di penjelasan UU No. 22 tahun 2001 disebut sebagai 'cukup jelas'. Penerimaan maksimal bagi negara dapat diartikan sebagai pendapatan dari penjualan gas Bumi. Harga jual gas Bumi ekspor tentunya lebih mahal dibanding harga jual gas Bumi dalam negeri. Jadi jangan heran jika saat ini Pemerintah lebih mementingkan ekspor Migas daripada menggunakannya untuk kebutuhan dalam negeri. Sehingga kalimat berikutnya di penjelasan 'untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat' menjadi tidak berlaku.

Pertanyaannya: dimana dan apa buktinya bahwa hasil Migas lebih digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat? Pendapatan negara yang lebih besar atau penggunaan dalam negeri yang lebih besar? Sudahkah dihitung mana yang lebih menguntungkan bagi kemakmuran rakyat? Sepertinya belum, sehingga pihak yang berkepentingan dapat bebas menginterpretasikan sesuai kepentingan masing-masing. Dan inilah cikal bakal hasil Migas kita belum dinikmati oleh rakyat akibat Pemerintah melakukan pembiaran yang berkelanjutan.

Dilematika Migas

Pihak yang diuntungkan dengan kebijakan ekspor akan melandaskan diri pada penerimaan yang maksimal bagi negara. Bahkan kalau bisa, semua hasil Migas diekspor. Sedangkan bagi pihak yang sangat membutuhkan gas, sebagai sumber energi primer, pasti akan melandaskan diri pada sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagai hasil dari berkembangnya industri dalam negeri dengan semua multiplier effect nya.

Ketidakjelasan tersebut mengalir terus pada peraturan pelaksanan UU. Misalnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Secara jelas menyebutkan bahwa Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas Bumi dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi secara optimal dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang disebutkan dalam Pasal 4 yang menetapkan bahwa kontraktor wajib menyerahkan 25% bagiannya untuk memenuhi kebutuhan Gas Bumi dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).

Pada realisasinya, DMO 25% tersebut dihitung bukan dari produksi, akan tetapi dari hasil penjualan Migas. Barangkali pemikirannya hasil penjualan adalah sama dengan hasil produksi. Hanya saja dalam bentuk mata uang bukan liter volume. Tentunya hal tersebut terjadi karena dilandasi pada penerimaan negara yang lebih besar. Dan kembali lagi muncul pertanyaan apakah sudah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ? Sepertinya belum. Dengan demikian mengapa peraturannya tidak dibuat secara tegas saja tanpa ada interpretasi lain atau dimungkinkannya interpretasi lain sesuai kepentingan pihak-pihak tertentu?

Berikutnya pada Permen ESDM No. 19 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. Di mana kontraktor wajib menyerahkan 40% dari DMO nya untuk kebutuhan transportasi. Bagaimana mengimplementasikan alokasi untuk transportasi tadi apabila pelaksanaan DMO saja kurang jelas dan mengapa tidak diintegrasikan saja kedua Permen ESDM tersebut ?

Kejelasan Pengaturan

Pada Permen ESDM No. 3 Tahun 2010, Pasal 6 ayat (3) mengatur bahwa alokasi kebutuhan dalam negeri diprioritaskan untuk: a. peningkatan industri Minyak dan Gas Bumi nasional, b. Industri pupuk, c. Penyediaan tenaga listrik dan d. industri lainnya. Prioritasisasi tersebut ternyata membingungkan industri dalam negeri yang sangat membutuhkan Gas.

Definisi prioritas a, b, c, dan d tersebut merupakan urutan prioritas atau hanya nomenklatur yang berarti ke empatnya prioritas? Berbagai interpretasi muncul sesuai kepentingan masing-masing. Herannya ketidakjelasan soal prioritas tersebut juga tidak menggerakkan pemerintah untuk memperbaiki peraturannya agar menjadi lebih jelas. Sehingga sampai sekarang pun hal tersebut tetap tidak jelas.

Rupanya ketidakjelasan pengaturan muncul dari hulu mengalir ke hilir dan sebaliknya peraturan mengenai kegiatan dari hilir mengalir ke hulu. Belum lagi dihadapkan pada Permen No. 19 Tahun 2010 yang menetapkan bahwa untuk kegiatan niaga hilir harus mengalokasikan 25% untuk transportasi (bertahap). Prioritas untuk transportasi di dalam kerangka Permen ESDM No. 3 Tahun 2010 Pasal 6 Ayat (3) di mana letaknya ?

Belum selesai kebingungan kita terkait dengan interpretasi urutan prioritas atau nomenklatur, publik bertambah bingung dengan pelaksanaan 2 Permen ESDM tersebut. Misalnya : pengadaan gas untuk PT PLN (Persero) melalui Perusahaan Gas Negara (PGN). Apakah gas tersebut dialokasikan untuk listrik (prioritas c) atau untuk industri lainnya (prioritas d)? Karena gas untuk listrik juga dialokasikan melalui PT PGN. Jelas kebijakan ini yang menyebabkan produksi listrik di Indonesia mahal.

Sebagai penutup, publik bertanya mengapa kekusutan di atas tidak diantisipasi dengan menerbitkan Peraturan baru yang lebih jelas yang merupakan gabungan terintegrasi antara kedua Permen ESDM di atas? Atau memang disengaja oleh regulator bahwa peraturan harus tidak jelas supaya mudah menginterpretasikan sesuai kebutuhan para pihak yang berkepentingan, bukan publik?

0 komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top