Kamis, 14 Maret 2013
Harga Bawang Meroket
Diposting oleh data qu di 23.56
AKHIR-akhir ini harga bawang di Tanah
Air melejit naik seperti roket. Bahkan untuk membeli 1 kg bawang saja,
seseorang bisa merogoh kocek yang cukup untuk membeli daging sapi untuk
berat yang sama. Di daerah Situbondo misalnya, harga bawang putih per
kilogramnya sudah mencapai Rp100 ribu. Angka yang sebelumnya tidak
pernah terjadi, karena biasanya hanya berkisar di harga Rp20 ribu saja
per kilogram. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Republik
Indonesia Hatta Rajasa, ada yang salah dengan membatasi impor bawang
putih ke Indonesia padahal permintaan masyarakatnya tinggi. Tentunya
naiknya harga bawang putih ini membawa dampak pada meningkatnya inflasi
yang cukup tinggi yaitu sekira 0,75 persen. Dengan naiknya inflasi, maka
dikhawatirkan harga barang-barang kebutuhan lain akan naik. Harga yang
naik ini disebabkan oleh pasokan petani lokal yang belum mampu mencukupi
permintaan masyarakat yang sangat besar. Apalagi jika para petani
sekarang lebih suka menanam bawang merah dibandingkan dengan menanam
bawang putih itu sendiri. Oleh karena itu, Hatta Rajasa pun meminta
untuk membuka sedikit keran impor bawang putih ke tanah air.
Sebab lain yang ditimbulkan dari naiknya bawang putih ini sendiri adalah kurang pintarnya petani dalam melihat pangsa pasar dalam melakukan usaha tani. Seperti yang sering kita dengar sebelumnya, petani kita cenderung suka ikut-ikutan ketika hendak menanam tanaman pangan, sayuran, buah dan tanaman hortikultura lainnya. Misalnya pada beberapa waktu yang lalu, fenomena kenaikan harga cabai di Tanah Air sampai tingkat yang belum pernah dibayangkan oleh masyarakat sebelumnya. Di daerah tertentu harga cabai bisa mencapai lebih dari Rp100 ribu per kilogram. Kasusnya pun hampir sama dengan harga bawang putih saat ini yaitu kurangnya pasokan dari para petani sementara permintaan pasar banyak. Melihat hal tersebut, petani berbondong-bondong untuk menanam cabai, dan karena banyaknya petani yang juga “ikut-ikutan” menanam cabai, akhirnya pada saat panen harga cabai turun, dan petani mengalami kerugian. Di lain sisi, ketika petani sudah “kapok” karena mengalami kerugian yang besar, akhirnya tidak menanam lagi dan kelangkaanlah yang kita hadapi. Akhirnya impor menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah. Sebenarnya kecenderungan impor inilah yang membuat negara-negara pengekspor melihat Indonesia sebagai pangsa pasar, sehingga mencari celah-celah perdagangan seperti kondisi saat ini.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang tinggi ini, maka butuh pemikiran dan kerja ekstra dari para petani Indonesia. Salah satunya adalah dengan sistem pertanian terpadu, yaitu pertanian yang hasil produksinya dapat dipanen sepanjang tahun. Walaupun pada tataran pelaksanaannya masih sulit karena budaya petani Indonesia yang pada dasarnya bertani untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, namun bukan berarti sistem tersebut tidak dapat diwujudkan. Dengan terwujudnya sistem ini, maka kebutuhan masyarakat itu bisa ditekan oleh produksi dalam negeri. Tidak akan ada kelangkaan yang menyebabkan inflasi lagi. Jadi, petani yang pintar menjadi harga mutlak untuk terwujudnya sistem terintegrasi antara pertanian, ekonomi, sosial dan budaya.
Sebab lain yang ditimbulkan dari naiknya bawang putih ini sendiri adalah kurang pintarnya petani dalam melihat pangsa pasar dalam melakukan usaha tani. Seperti yang sering kita dengar sebelumnya, petani kita cenderung suka ikut-ikutan ketika hendak menanam tanaman pangan, sayuran, buah dan tanaman hortikultura lainnya. Misalnya pada beberapa waktu yang lalu, fenomena kenaikan harga cabai di Tanah Air sampai tingkat yang belum pernah dibayangkan oleh masyarakat sebelumnya. Di daerah tertentu harga cabai bisa mencapai lebih dari Rp100 ribu per kilogram. Kasusnya pun hampir sama dengan harga bawang putih saat ini yaitu kurangnya pasokan dari para petani sementara permintaan pasar banyak. Melihat hal tersebut, petani berbondong-bondong untuk menanam cabai, dan karena banyaknya petani yang juga “ikut-ikutan” menanam cabai, akhirnya pada saat panen harga cabai turun, dan petani mengalami kerugian. Di lain sisi, ketika petani sudah “kapok” karena mengalami kerugian yang besar, akhirnya tidak menanam lagi dan kelangkaanlah yang kita hadapi. Akhirnya impor menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah. Sebenarnya kecenderungan impor inilah yang membuat negara-negara pengekspor melihat Indonesia sebagai pangsa pasar, sehingga mencari celah-celah perdagangan seperti kondisi saat ini.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang tinggi ini, maka butuh pemikiran dan kerja ekstra dari para petani Indonesia. Salah satunya adalah dengan sistem pertanian terpadu, yaitu pertanian yang hasil produksinya dapat dipanen sepanjang tahun. Walaupun pada tataran pelaksanaannya masih sulit karena budaya petani Indonesia yang pada dasarnya bertani untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, namun bukan berarti sistem tersebut tidak dapat diwujudkan. Dengan terwujudnya sistem ini, maka kebutuhan masyarakat itu bisa ditekan oleh produksi dalam negeri. Tidak akan ada kelangkaan yang menyebabkan inflasi lagi. Jadi, petani yang pintar menjadi harga mutlak untuk terwujudnya sistem terintegrasi antara pertanian, ekonomi, sosial dan budaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar